Kamis, 06 Oktober 2011

Bangun komitmen dan bersungguh-sungguhlah


Paul G. Stoltz membagi manusia dalam tiga jenis: quitters, campers, dan climbers. Hidup dengan cita-cita, bagi G. Stoltz, seperti sebuah pendakian. Mula-mulanya kamu di bawah, bukan siapa-siapa; kemudian merayap naik dengan susah payah dan mencapai puncak, memenuhi cita-cita.
            Semua orang, mungkin memiliki impian, dan awalnya ingin melakukan perjalanan untuk mendekati apa yang ia mimpikan. Namun, sayangnya tidak semua orang yang pada awalnya melakukan perjalanan sampai pada ujung jalan yang sedang ditempuhnya..., yaitu, impiannya. Ada banyak orang yang merasa kelelahan, putus asa, malas, takut, malu, atau manja; lalu memutuskan untuk berhenti melakukan perjalanan tersebut.
            Ada orang yang mulanya begitu bersemangat untuk melakukan perjalanan, semua barang sudah disiapkan, perjalanan juga sudah dilakukan. Namun, karena jalan yang ia tempuh berliku dan terjal ..., ia merasa capek, lelah, dan berkeringatan; lalu ... niatnya hendak melakukan perjalanan tersebut dibatalkan. Ia hanya memandangi ujung jalan dan hanya memandangnya sampai tua, bahkan mati.
            Kalau seperti itu, kamu adalah pencoba perjalanan, hanya pencoba biasa: ini lah yang disebut dengan quitters. Kamu hanya quitters ketika berhenti sebelum mencapai ujung jalan yang kamu cita-citakan dari awal. Sebagai quitters, kamu telah meninggalkan mimpi membahagiakan dan memilih diam atau andaikan pun melakukan perjalanan, kamu memilih jalan yang lebih datar dan mudah, serta biasa-biasa saja.
            Saat memutuskan berhenti dan menjadi orang biasa tanpa cita-cita, kamu memang merasakan keleluasaan yang luar biasa. Kamu bisa berleha-leha saat penempuh perjalanan yang lain sedang berpeluh melewati jalan yang berliku, terjal, bahkan penuh onak dan duri. Kamu bisa menonton televisi sehariaan saat teman-temanmu sedang berlatih keterampilan. Tapi, tunggulah satu tahun ke depan. Kamu akan melihat teman-teman lain yang tidak berhenti melakukan perjalanan telah berada di puncak dan dibicarakan banyak orang. Saat itu, kamu merasa tersiksa dan berkata, “Seandainya dulu saya ...!”
            Kata “seandainya dulu saya ...” adalah kata yang begitu menyakitkan. Hatimu perih, perutmu mual, dan kamu mulai menyesali diri seumur hidup. Lebih dari itu, kamu akan menjadi manusia yang sinis, murung, dan mati perasaannya. Atau, kamu akan menjadi uring-uringan tidak jelas arahnya, menyalahkan semua orang yang ada di dekatmu, “kamu, sih, dulu bilang begini ...” atau “kamu, sih, dulu nggak ngasih support ...”
            Kamu pun akan mengalihkan rasa iri dan penyesalanmu pada hal-hal yang tidak berguna. Mulanya, kamu merasa penting buat mencari cara untuk melupakan kalimat, “seandainya dulu saya ....”; lalu kamu merokok, menonton acara televisi yang sebelumnya tidak kamu sukai sama sekali, atau kegiatan mubazir lainnya. Semuanya itu kamu lakukan buat menghilangkan penyesalan karena tidak melanjutkan pendakian.
            Kemudian, kamu akan kecanduan rokok, kecanduan acara televisi, dan kecanduan bersikap sinis pada siapa pun yang mencapai puncak prestasi. Akhirnya, saat sakaratul maut, kamu akan mati penasaran.
            Jenis kedua champers. Misalnya, kamu sudah membulatkan tekad bahwa apa pun halangannya, kamu harus terus melakukan perjalanan, mendekati cita-cita. Setelah sekian lama mendaki, kamu merasa sudah berada lebih jauh dalam menempuh perjalanan tersebut ketimbang siapa pun.
            Kamu merasa cukup dan berhenti di tengah jalan. Saat itu, kamu dibayangi kalimat, “Kayaknya sudah cukup jauh, nih ...” atau “sudah, ah, buat apa sih, jauh-jauh?! Segini juga sudah di atas rata-rata ....” Lalu, kamu membuka ranselmu dan berkemah di sana, menikmati pemandangan dan rasa bangga bahwa kamu lebih hebat ketimbang yang lainnya.
            Merasa sudah hebat itu membahayakan dan menyesatkan. Cita-citamu begitu tinggi. Namun, karena merasa telah lebih hebat, kamu memutuskan untuk berhenti. Padahal, kamu belum apa-apa, belum pantas disebut siapa.
            Kalau tiba-tida virus merasa hebat itu hadir, segeralah bergaul, bermain ke universitas lain. Lihat dan cermati bagaimana mereka memiliki prestasi yang luar biasa (bagaimana dengan kamu?). padahal mereka juga sama dengan kamu, berasal dari desa yang mungkin saja sama. Bedannya, mereka memilih untuk menjadi climbers; sedangkan kamu cukup berkemah saja.
            Terakhir adalah jenis manusia climbers. Manusia jenis ini adalah manusia yang tidak pernah merasa besar kepala. Ia belum berhenti melakukan pencarian bila belum mencapai apa yang dicita-citakannya. Tentu saja, ia harus melakukan perjalanan yang melelahkan.
            Saat quitters dan champers sedang berleha-leha, seorang climbers justru sedang bersusah payah melakukan banyak latihan. Biar saja, Aristoteles pernah bilang, “Akar dari pencarian itu pahit, tapi buahnya manis.” Mulanya pahit, namun akhirnya akan manis. Semua kenikmatan quitters dan champers itu akan segera musnah ketika si climbers ini mencapai puncak cita-citanya. Bahkan, quitters dan champers akan menjadi pemuja climbers.
            Apakah kamu seorang quitters? Atau seorang champers? Mudah-mudahan, kamu menjadi climbers!
            Begitu mencapai puncak kesuksesan, kamu harus bersyukur. Bersyukurlah karena usahamu selama ini mengorbankan waktu, tenaga, konsentrasi, dan memeras otak; tidak sia-sia.
            Sahabat, kehidupan ini bukanlah geladi resik. Kamu hanya diberi kesempatan satu kali. Kalau tidak memanfaatkan dengan sebaik-baiknya, kamu tidak bisa berbuat apa pun untuk mendapatkan kembali waktu yang telah lewat.
            Kamu bisa saja mengulang sebuah mata kuliah yang sebelumnya tidak lulus. Namun, itu berarti, kamu membuang-buang waktu yang seharusnya dapat kamu manfaatkan untuk melakukan hal lain.
            Sekali lagi, kehidupan ini bukanlah geladi resik yang membolehkan kamu bersantai. Kamu harus tampil hari ini, bukan besok. Saat ini pun, kamu tampil dengan kondisimu. Bila tidak menyeriusinya sekarang, kamu akan kedodoran di masa depan. Kalau pun kamu mau menganggap bahwa selama kuliah sama dengan saat bergeladi resik sebelum kehidupan yang sebenarnya, tak apa-apa juga. Namun, kamu tetap harus serius saat latihan agar saat pentas di dunia nyata, kamu sudah menjadi aktor terlatih.
            So, janganlah berpangku tangan! Segeralah melakukan apa saja yang membuatmu dapat memenuhi impianmu itu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar