Selasa, 27 September 2011

Hukum dan Masyarakat

Pendahuluan
Perkembangan masyarakat dan hukum terus melaju seakan terus mengikuti perkembangan zaman. Meskipun kadang perkembangan hukum masih harus tertatih-tatih mengikuti perkembangan zaman, namun ia berusaha untuk terus memberikan sumbangsih pada kegiatan dan upaya pengkajian hukum ini. Hal ini berlaku pula pada pandangan terhadap perkembangan birokrasi-birokrasi yang berhubungan dengan struktur hukum itu. Bentuk-bentuk hukum yang menekankan pada kekuasaannya mulai dilkritisi dan diubah menjadi aturan hukum yang lebih mengakar kepada keinginan masyarakat luas dimana, bentuk hukum dan dikenal sebagai rasionalitas formal, diarahkan kepada rasionalitas substansif.
Dengan tingkat kesejahteraan dan peraturan, tekanan yang lebih besar yang selama ini ditempatkan pada hukum rasional formal yang memberikan perhatian dan fungsi pada orientasi pemerintah akan banyak mengarah pada pembangunan hukum yang berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyrakat, agar natinya hukum akan dapat digunakan sebagai instrument untuk orientasi tujuan dan intervensi arah dengan maksud tertentu. Dengan adanya upaya itu maka perlu dilakukan suatu usaha sebagai ‘rematerialisasi hukum’ sehingga terus ada upaya dalam menuju suatu tatanan hukum modern. Dengan demikian maka orientasi hukum dan masyarakat harus senantiasa didengungkan agar bagian dari warisan program status welfare-regulatory ini akan berkembang menuju mengacu pada solusi dalam merubah rasionalitas formal ini, sebab hukum dibentuk tidak untuk hanya kepentingan hukum itu sendiri, namun untuk kepentingan manusia dan kehidupan masyarakat. Oleh karena disadari bahwa kehidupan manusia dan masyarakat tanpa aturan hukum akan kacau atau tidak tertib.
Perubahan pemikiran hukum dari rasionalitas formal ke rasionalitas substantif digunakan sebagai instrumen untuk melakukan perubahan yg berorientasi pada suatu tujuan atau sasaran, yang lebih umum dan terbuka serta lebih terinci. Pendekatan teori neo-evolusioner menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi pada tatanan hukum dan masyarakat dalam suatu negara yang oleh Teubner menggunakan mengarahkan kepada satu perspektif proses perubahan hukum dan sosial dengan hukum refleksif. Sebelumnya, Teubner dalam menguraikan pendapat Phillipe Nonet dan Phillip Selznick bahwa Nonet dan Selznick mengembangkan model hukum dengan tiga tahapan evolusioner yakni: represif, otonom, dan responsif. [1] Selain itu, Nonet da Selznick juga menyatakan bahwa Hukum represif sebagai tatanan hukum yang tidak menjamin keadilan substantif, memiliki potensi yang membuat otoritas penguasa semakin efektif demi mempertahankan status quo.[2]
Namun demikian, dengan teori Nonet dan Selznick ini Tuebner melihat adanya perkembangan yang mengarah pada penggunaan dan pengembangan hukum represif secara meluas tanpa banyak memasukkan “campurtangan” yang memadai dari masyarakat sehingga hukum hanya berkembang tanpa dibarengi dengan perkembangan masyarakat.
Rematerialisasi Hukum dan Masyarakat
Perubahan orientasi dari pemerintah yang terbetuk dalam rasional formal menuju pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyarakat (substantive Rationality) memang disadari harus dilakukan melalui rematerialisasi hukum (rematerialization of law) sebagai sebuah alternatif jalan keluar yang banyak dilakukan[3] dalam mengatasi keadaan yang dikenal dengan Krisis Hukum. Namun bagaimana sebenarnya rematerialisasi hukum itu oleh Gunther Tuebner dikatakan:
“The rematerialization of formal law is the corollary development within the legal sphere. law develops a substantive rationality characterized by particularism, result-orientation, an instrumentalist sosial policy approach, and the increasng legalization of formerly autonomus sosial processes.”[4]
Sehingga dengan kata lain secara ringkas dapat dikatakan bahwa rematerialisasi hukum adalah kecenderungan di bidang hukum dari rasionalitas formal ke rasionalitas substantif, atau pemisahan dari formalitas hukum sebagai konsekuensi logis paham negara kesejahteraan (welfare state) maupun negara pengatur (regulatory state).[5] Namun demikian, rematerialisasi hukum ini harus diawasi sebab suatu remateriliasasi hukum dapat berdampak pada munculnya ancaman terhadap nilai-nilai sosial ini, sebab dengan rematerilisasi hukum, nilai-nilai yang kehidupan sosial akan tidak mendapat perhatian sehingga akan tidak terakomodasi dalam pengaturan hukum. Disamping itu, secara langsung rematerialisasi hukum ini akan mengganggu individualitas, sebab hukum akan senantiasa mengacuh pada keinginan rasionalitas yang mengarah pada sasaran formal dan tentunya dengan sendirinya akan melupakan persoalan individu. Sebagai konsekuensi logis dari gambaran ini tentunya perlindungan hukum terhadap individu dan masyarakat tentu akan berkurang.
Evolusioner dalam Hukum dan Sosial
Dalam memahami hubungan antara perubahan dalam hukum dan perubahan dalam masyarakat, diperlukan sebuah teori yang bersifat evolusioner, meskipun teori perkembangan ini tidak selamanya dapat menjelaskan bagaimana sebuah hukum tertentu dapat bekerjasama dengan gambaran-gambaran sosial, ekonomi dan organisasi politik dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, maka teori evolusioner ini seharusnya mampu untuk mempertimbangkan hubungan antara struktur-struktur hukum dan sosial serta membantu kita untuk memahami bagaimana transformasi-transformasi itu dapat terjadi.[6] Dalam sebuah model yang dikembangkan oleh Nonet dan Selznick,[7] Nonet dan Selznick menganalisis sebuah model mengenai proses perubahan hukum yang membebankan aturan yang berpusat pada “dinamika internal” sistem hukum. Dengan model ini maka aturan- aturan hukum hanya berada pada penguatan-penguatan yang mengatur di dalam lingkungan hukum itu sendiri saja. Hal ini berarti bahwa rematerialisasi hukum ini hanya memperbaiki kondisi hukum itu saja, terlepas dari apakah hukum itu mempunyai dampak yang langsung atau tidak kepada berbagai masalah lain seperti ekonomi, masyarakat, dan budaya. Penguatan yang berpusat pada hukum ini akan memperkuat bentuk hukum yang ada pada sisi pembuat hukum itu sendiri sehingga kecenderungan yang akan muncul adalah hukum akan sulit diterima secara menyeluruh oleh masyarakat sebab orientasi yang dimuat dalam model ini hanya akan menjadikan hukum sebagai poduk otonomi. Dari gambaran model ini, maka kemungkinan hasil yang dapat dilihat sebagai hasilnya adalah bahwa hukum akan memperkuat otoritas pemerintahan dan akan cenderung mengarahkan pada hukum reperessif atau hukum akan cenderung menguat dengan sendirinya sehingga tidak ada yang dapt mengganggu keadaan hukum ini sehingga menjadi hukum yang otonom (autonomous law). Kemungkinan lain yang akan muncul adalah aturan hukum ini akan berjalan sendiri tanpa adanya unsur sosial didalamnya sehingga akan menimbulkan istilah yang dikenal dengan ‘hukum tanpa masyarakat ‘(law without society).
Meskipun demikian, model dari Nonet dan Selznick ini bagaimanapun tidak seluruhnya hanya melihat pada aturan kekuatan sosial eksternal. Model ini secara eksplisit juga mengenal adanya faktor-faktor seperti sosial, ekonomi atau budaya yang berperan dalam perkembangan hukum, meskipun hanya sedikit. Tuebner mengatakan bahwa Lingkungan eksternal dari model ini nampaknya tidak banyak membawa perubahan pada hukum, karena pada prinsipnya menghambat atau memfasilitasi realisasi pembangunan yang dipicu oleh dinamika internal hukum. Struktur-struktur sosial yang lebih luas menstimulasi atau memperkuat peng-aktualisasian dari potensi hukum, menentukan stabilitas dari suatu tahapan evolusioner dan kemungkinan adanya kemajuan dan kemunduran.[8] Oleh sebab itu oleh Tuebner ia mengkombinasikan model dari Nonet dan Selznik ini dengan model yang diberikan oleh Habermas-Luhman yang lebih mengarahkan masyarakat sebagai organisasi yang teratur secara bertingkat dalam memberikan model sehingga pada akhirnya akan terbentuk sebuah model hukum-sosial (social-legal model).
Pada hakekatnya, Luhmann dan Habermas mendasarkan analisisnya pada teori-teori yang menyangkut evolusi struktur-struktur sosial dan proses-proses hukum dan ko-variasi sosial. Luhmann menggunakan skema evolusioner atau tiga tahapan perkembangan masyarakat yaitu:
1) Masyarakat tersegmentasi (segmented society) yang hidup secara berkelompok atau terpencar yang dihubungkan oleh kekerabatan yang kuat, meski tidak memiliki struktur kenegaraan;
2) Masyarakat yang terstrata (strartified society) secara bertingkat serta;
3) Masyarakat yang terdiferensiasi (differentiated society) secara fungsional.
Pada intinya Luhmann mengatakan masyarakat moderen berhadapan dengan meningkatnya kompleksitas lingkungannya melalui proses diferensiasi, segmentasi, stratifikasi masyarakat yang merupakan gabungan antara segmentasi dan stratifikasi, serta fungsionalitas masyarakat.[9] Sementara itu, Habermas mengidentifikasi tahapan-tahapan evolusioner dalam masyarakat dan menganalisis hubungan antara tahapan-tahapan ini melalui perkembangan moral hukum dengan mengemukakan tahapan-tahapan perkembangan hukum dan masyarakat, yakni: Prekonvensional, Konvensional, Pascakonvensional. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan hukum yang ditawarkan oleh Nonet dan Selznick bersandar pada variabel-variabel internal sistem hokum, sementara Habermas dan Luhmann menekankan pada inter-relasi eksternal antara hukum dan struktur sosial.
Hukum dalam Sistem Sosial
Bentuk konkret dari model hukum sosial dapat terlihat dimana aturan-aturan hukum yang ada tersebut harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem-sistem dalam masyarakat. Namun demikian, bagaimana sistem itu dapat terbentuk dalam masyarakat, perlu terlebih dahulu di pahami bahwa dalam kehidupan bermasyarakat penggunaan istilah sistem biasa disalahpahami. Istilah sistem sering dipakai dan digunakan dalam berbagai perbincangan akademik seperti dalam perspektif sosiologi (misalnya istilah sistem sosial), dalam perspektif empirik dengan istilah sistem politik, antropologi dengan sistem nilai budaya, perspektif komunikasi seperti sistem komunikasi, maupun dalam perspektif administrasi dengan penggunaan sistem administarsi negara dan lain sebagainya. Dalam tradisi ilmu-ilmu sosial, istilah sistem tersebut sebenarnya sering digunakan untuk menjelaskan sebuah sistem organik, atau sebuah sistem yang komponen-komponennya terdiri dari benda­ yang berjiwa (animate). Sementara itu, dalam tradisi ilmu­ alam, istilah sistem lebih sering digunakan untuk menjelaskan sistem anorganik, yaitu sebuah sistem yang komponen­komponennya terdiri dari benda-benda yang tidak berjiwa (in-animate). [10]
Penggunaan dan pembedaan ini sebenarnya tidak esensial karena secara umum dapat dikatakan bahwa dari kedua bentuk diatas, suatu sistem sebanrnya adalah sebuah himpunan yang terdiri dari bagaian-bagian yang saling berhubungan satu sarna lain secara teratur dan membentuk suatu keseluruhan. Untuk lebih jelasnya secara konkret, dapat dicontohkan pada sebuah sistem mekanik pada kendaraan dimana jika komponen-komponen tersebut dihubungkan secara teratur dan kemudian membentuk suatu kelengkapan, maka ia akan dapat berfungsi sebagai satu sistem yang dapat disebut sebagai kendaraan. Talcott Parsons[11] mengartikan sistem sebagai sebuah pengertian yang menunjuk pada adanya inter­dependensi antara bagian-bagian, komponen-komponen, dan proses-proses yang mengatur hubungan-hubungan tersebut. Secara spesifik pengertian ini lebih menekankan pada interdependensi antar komponennya. Dengan demikian, maka pengertian sistem sosial dapat diartikan sebagai sebuah keseluruhan komponen-komponen dalam masyarakat dimana seluruh komponen dalam masyarakat ini berhubungan antara satu dengan lainnya sehingga membentuk satu kesatuan yang saling berkaitan. Secara rinci, karakteristik sebuah sistem dapat dilihat sebagai:
1. Terdiri dari beberapa komponen.
2. Saling berhubungan satu sama lain dalam suatu pola saling ketergantungan.
3. Keseluruhannya lebih dari sekadar penjumlahan dari komponen­komponennya dimana yang terpenting bukanlah kuantitas komponen, melainkan kualitas komponen secara keseluruhan.
Selain itu, sebagai sebuah konsep sosial, Talcott Parsons,[12] menyatakan bahwa masyarakat itu adalah suatu sistem sosial yang swasembada (self-subsistent) melebihi masa individu normal, dan merekrut anggota secara reproduksi biologis serta melakukan sosialisasi terhadap generasi penerusnya. Sementara Mariam Leve[13] mensyaratkan empat kritera agar sebuah kelompok bisa disebut sebagai masyarakat yakni:
1. kemampuan bertahan melebihi masa hidup individu;
2. rekruitmen sebuah atau sebagian anggota melalui reproduksi;
3. kesetian pada suatu sistem tindakan utama bersama;
4. adanya sistem tindakan utama yang bersifat swasembada.
Konsep yang demikian bila dihubungkan dengan hukum, akan memperlihatkan kegiatan-kegiatan yang mengarah pada perubahan sosial yang terjadi secara terus menerus. Hal ini dapat terjadi karena hukum baik sebagai the tool of social engineering akan terus mengendalikan suatu masyarakat dalam perkembangannya. Secara umum, hukum sebagai aturan yang mengandung perintah dan larangan yang bila dikaitkan dengan proses modernisasi masyarakat ternyata sangat berpengaruh terhadap hukum itu sendiri.
Satjipto Raharjo[14] menyatakan bahwa apakah yang seyogianya atau yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi kenyataan dalam masyarakat, dikenal dengan nama disiplin presriptif. Ruang lingkup disiplin presriptif[15] adalah: Pertama, ilmu hukum. Ilmu hukum di sini yang dilihat adalah: (1) ilmu tentang kaidah yang menelaah hukum sebagai kaedah atau sistem kaedah-kaedah dengan dogmatic dan sistematik hukum; (2) ilmu pengertian, tentang pengertian-pengertian dari dasar dari sistemhukum menakup subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek hukum; (3) ilmu tentang kenyataan yang menyoroti hukum sebagai perangkat sikap, tindak dan perilaku yang terdiri dari sosiologi hukum (hubungan timbal balik antara hukum dan gejolak sosial), antropologi hukum (pola-pola sengketa da penyelesaiannya), psikologi hukm (hukum sebagai suatu perwujudan daripada jiwa manusia), perbandingan hukum (membadingkan sistemhukum antar beberapa masyarakat, dan sejarah hukum (perkembangan dan asal usul daripada sistem hukum). Kedua, politik hukum yang mencakup kegiatan memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-nila yang dipilih itu. Ketiga, filsafat hukum yang mencakup perenungan nilai-nilai, perumusan nilai-nilai, dan keserasian nilai-nilai yang berpasangan dan kadangkala bersitegang atau berbenturan.
Kesimpulan
Dalam perkembangan hukum dan masyarakat yang semakin pesat, penekanan hukum pada kekuasaan mulai dikritisi dan diarahkan kepada rasionalitas substansif yang berorientasi pada penguatan sub-sub sistem yang ada pada masyrakat, sehingga diperlukan rematerialisasi hukum.
Pendekatan neo-evolusioner dengan hukum refleksif oleh Teubner diarahkan kepada satu perspektif proses perubahan hukum dan sosial. Menurutnya, teori Nonet dan Selznick dalam menggunakan hukum represif tidak banyak memasukkan campurtangan masyarakat sehingga hukum hanya berkembang tanpa masyarakat. Melalui rematerialisasi hukum, perlu dilakukan perubahan dalam hukum dan masyarakat yang bersifat evolusioner dimana hukum dapat bekerjasama dengan gambaran-gambaran sosial, ekonomi dan organisasi politik dalam suatu masyarakat. Dengan demikian, hubungan antara struktur-struktur hukum dan sosial akan membantu untuk memahami transformasi dalam masyarakat.
Meskipun teori Nonet dan Selznick tidak seluruhnya melihat aturan kekuatan eksternal sosial, Tuebner berusaha mengkombinasikan model ini dengan model Habermas-Luhman yang lebih mengarahkan masyarakat sebagai organisasi yang teratur sehingga pada akhirnya membentuk sebuah model hukum-sosial. Teori Luhmann dan Habermas mendasarkan pada evolusi struktur-struktur sosial dan proses-proses hukum dan ko-variasi sosial dengan menggunakan bentuk masyarakat yang tersegmentasi, terstrata, dan terdiferensiasi secara fungsional. Sementara itu, Habermas mengidentifikasi tahapan-tahapan evolusioner dalam masyarakat dan menganalisis hubungan antara tahapan-tahapan ini melalui perkembangan moral hukum dengan mengemukakan tahapan-tahapan prekonvensional, konvensional, pascakonvensional, sehingga secara ringkas dapat dikatakan bahwa perubahan-perubahan hukum yang ditawarkan oleh Nonet dan Selznick bersandar pada variabel-variabel internal sistem hukum, sementara Habermas dan Luhmann menekankan pada inter-relasi eksternal antara hukum dan struktur sosial.
Untuk mengetahui bentuk konkret model hukum dan sosial, dapat dilihat dilihat dari aturan-aturan hukum yang ada dimana ia juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem-sistem dalam masyarakat. Hukum sebagai the tool of social engineering akan terus mengendalikan suatu masyarakat dalam perkembangannya, baik secara preskriptif dimana hukum sebagai bertindak sebagai kaidah dalam pengertian dan kenyataan, maupun dalam secara politik dan philosopis yang menerapkan nilai-nilai dan perenungan dan perumusannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar